Talak (Perceraian)
KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Talak (Perceraian)
Sebagaimana telah kita pahami dari keterangan yang telah lalu, bahwasanya Islam sangat menginginkan terwujudnya keluarga muslim yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan dan kita juga telah mengerti beberapa tindakan solusi yang telah diajarkan Islam dalam rangka menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara suami dan isteri.
Akan tetapi bisa jadi usaha untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak berhasil dikarenakan persengketaan dan permusuhan antara keduanya sudah terlampau panas. Dalam keadaan seperti ini seseorang dituntut untuk menggunakan tindakan lain yang lebih kuat, yaitu talak.
Orang yang memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak, ia akan paham bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri. Sebagai bukti akan hal itu, bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali. Allah berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah/2: 229]
Jika seorang suami telah menceraikan isterinya dengan talak pertama atau kedua, maka ia tidak berhak mengeluarkan isterinya dari rumah hingga masa ‘iddahnya selesai. Bahkan sang isteri pun tidak berhak untuk keluar rumah. Alasan dari semua itu adalah harapan sirnanya kemarahan yang menyebabkan perceraian dan harapan akan kembalinya keadaan rumah tangga seperti sedia kala.
Hal ini seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” [Ath-Thalaaq/65: 1]
Yaitu, supaya suami merasa menyesal karena telah menceraikan isterinya dan kemudian Allah meluluhkan hatinya agar rujuk kembali. Sesungguhnya yang demikian itu akan mudah.
Pembagian Talak
Pertama : Dari segi bahasa.
Dari segi bahasa talak dibagi menjadi dua, yaitu: Sharih dan Kinayah (kiasan)
Sharih yaitu suatu kalimat yang langsung dapat difahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain, seperti, Anti Thaaliq atau Muthallaqah (engkau adalah wanita yang tertalak). Demikian juga setiap pecahan kata dari lafazh ath-Thalaq.
Seorang suami yang mengatakan kalimat tersebut kepada isterinya, maka jatuhlah talak atasnya meskipun dalam keadaan bercanda atau tanpa niat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ، وَالرَّجْعَةُ.
“Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk.” [1]
Sedangkan Kinayah, yaitu kata yang mengandung makna talak dan selainnya, seperti perkataan: Alhiqi bi ahliki (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.
Jika suami mengatakan kalimat tersebut tidaklah jatuh talak kecuali jika disertai dengan niat, artinya jika ia berniat talak, maka jatuhlah talak tersebut dan jika tidak, maka tidak jatuh talak.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu:
أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ اِلْحَقِي بِأَهْلِكِ.
“Bahwa tatkala puteri al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Maka beliau bersabda, ‘Sungguh engkau telah berlindung kepada Yang Mahaagung, kembalilah kepada keluargamu.’” [2]
Dari riwayat Ka’ab bin Malik tatkala ia bersama dua Sahabat yang lain diboikot oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak mengikuti perang Tabuk bersama beliau, bahwa Rasulullah mengutus seseorang untuk mengabarkan:
أََنِ اعْتَزِلِ امْرَأَتَكَ. فَقَالَ: أُطَلِّقُهَا أَمْ مَاذَا أَفْعَلُ؟ قَالَ: بَلِ اعْتَزِلْهَا فَلاَ تَقَرَّبَنَّهَا فَقَالَ: ِلإِمْرَأَتِهِ: اِلْحَقِيْ بِأَهْلِكِ.
“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi isterimu.” Ka’ab bertanya, “Aku ceraikan atau apa yang aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Jauhi saja dan jangan sekali-kali kau dekati.” Maka kemudian Ka’ab bin Malik berkata kepada isterinya, “Kembalilah kepada keluarga-mu.” [3]
Kedua: Dari segi Ta’liq dan Tanjiz :
Bentuk kata talak ada dua yaitu: Munjazah (langsung) dan Mu’allaqah (menggantung)
Munjazah, yaitu suatu kalimat diniatkan jatuhnya talak oleh orang yang mengatakannya saat itu juga, seperti jika seorang suami berkata kepada isterinya: Anti Thaaliq (engkau adalah perempuan yang di talak) talak ini jatuh saat itu juga.
Adapun Mu’allaq yaitu suatu kalimat talak yang dilontarkan oleh suami kepada isterinya yang diiringi dengan sya-rat, seperti jika ia berkata kepada isterinya, “Apabila engkau pergi ke tempat itu, maka engkau tertalak.”
Hukum perkataan yang demikian, jika ia benar-benar menginginkan talak tatkala syarat tersebut dilakukan, maka hukumnya seperti apa yang ia inginkan. Adapun jika ia hanya bermaksud untuk memperingatkan isteri agar tidak berbuat demikian, maka hukumnya adalah hukum sumpah, yang artinya jika syarat yang disebutkan tidak dilakukan, ia tidak dibebani apa-apa, namun jika sebaliknya, maka ia harus mem-bayar kafarat karena sumpahnya (ini adalah madzhab Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- sebagaimana disebutkan dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66)
Ketiga: Dari segi Sunnah dan Bid’ah
Dari segi ini talak dibagi menjadi dua, yaitu: Talak yang Sunnah dan talak yang bid’ah.
Talak Sunnah yaitu seorang suami mentalak isterinya yang telah dicampuri dengan satu talak, dalam keadaan suci dan pada masa itu ia tidak mencampurinya.
Allah Ta’ala berfirman :
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah/2: 229]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” [Ath-Thalaaq/65: 1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mentalak isterinya yang sedang dalam keadaan haidh, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.
“Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan isteri.” [4]
Adapun Talak yang bid’ah, yaitu talak yang menyelisihi syari’at, seperti seorang suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampurinya, atau seorang suami melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis, seperti perkataan suami, “Engkau saya talak dengan talak tiga”, atau ucapannya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.”
Hukum talak semacam ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa.
Apabila suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh, maka jatuh hukum talak, jika talak raj’i, maka ia disuruh untuk merujuknya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya, sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar.
Adapun dalil jatuhnya hukum talak dalam kasus seperti ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dihukumi atasku satu talak.” [5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata dalam kitab Fathul Baari, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang menyuruh Ibnu ‘Umar agar rujuk dan beliaulah yang menuntun Ibnu ‘Umar apa yang harus ia lakukan jika ingin menceraikannya setelah itu. Dan jika Ibnu ‘Umar mengatakan bahwasanya pada saat itu ia telah dihukumi satu talak, maka kemungkinan yang telah menentukan hukum itu adalah selain Rasulullah sangatlah jauh sekali, karena adanya indikasi yang mendukung dalam kisah ini. Bagaimana mungkin kita akan beranggapan bahwasanya Ibnu ‘Umar mengatakan hal itu dari pendapatnya belaka, sedangkan ia juga telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepadanya karena apa yang telah diperbuatnya? Bagaimana mungkin ia tidak bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan ia lakukan?”
Al-Hafizh berkata lagi, “Ibnu Wahb dalam musnadnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Nafi’ telah mengabarkan kepadanya bahwasanya Ibnu ‘Umar menceraikan isterinya dalam keadaan haidh, lalu ‘Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ.
‘Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci.’
Tentang hadits ini Ibnu Abi Dzi’b berkata, Yaitu satu talak. Ibnu Abi Dzi’b berkata, Handzalah bin Abi Sufyan berkata kepadaku bahwa ia telah mendengar Salim menceritakan cerita tersebut dari ayahnya.
Al-Hafizh berkata lagi, ad-Daruqutni telah mengeluarkan dari jalan Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Ishaq yang keduanya telah mendengar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
وَهِيَ وَاحِدَةٌ.
“Yaitu satu talak.” [6]
Talak Tiga
Adapun jika seorang suami mentalak isterinya dengan talak tiga dengan satu lafazh atau satu majelis, maka dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan beberapa tahun dari khilafah-nya ‘Umar, bahwa hukum talak tiga yang diucapkan dengan satu talak adalah dihukumi satu talak. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya sebagian orang telah terburu-buru dalam melaksanakan suatu perkara yang sebenarnya mereka harus berhati-hati dalam urusan ini, maka sekiranya kita berlakukan bagi mereka (bahwa talak tiga dengan satu lafazh dihukumi sebagai talak tiga)?, maka talak tersebut menetapkan hukum tersebut bagi mereka. [7]
Pendapat tersebut adalah ijtihad dari ‘Umar Radhiyallahu anhu yang tujuannya adalah untuk tercapainya suatu kemashlahatan dan tidak boleh meninggalkan apa yang telah difatwakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan pada zaman para Sahabat hingga zaman kekhilafahannya.
Keempat : Dari segi rujuk dan tidaknya.
Talak ada dua macam yaitu: Raj’i dan Ba-in. Sedangkan talak ba’in juga dibagi menjadi dua pula, yaitu: sughra dan kubra.
Talak raj’i adalah mentalak isteri yang sudah dicampuri tanpa adanya tebusan harta (dari pihak isteri) dan belum didahului dengan talak sebelumnya sama sekali atau baru didahului dengan talak satu kali.
Allah Ta’ala berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah/2: 229]
Seorang wanita yang ditalak raj’i, maka statusnya masih sebagai isteri selama masih dalam ‘iddahnya dan suami berhak untuk rujuk kapan saja ia berkehendak selama masih dalam masa ‘iddah, dan tidak disyaratkan keridhaan isteri atau izin dari walinya. Allah Ta’ala berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” [Al-Baqarah/2: 228]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1826)], Sunan Ibni Majah (I/658, no. 2039), Sunan Abi Dawud (VI/262, no. 2180), Sunan at-Tirmidzi (II/328, no. 1195).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3199)], Shahiih al-Bukhari (IX/ 356, no. 5254), Sunan an-Nasa-i (VI/150) dan lafazh yang diriwayat-kannya adalah “ Annal Kullabiyah lamma udkhilat….”
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XIII/113, no. 4418), Shahiih Muslim (IV/2120, no. 2769), Sunan Abi Dawud (VI/285, no. 2187), Sunan an-Nasa-i (VI/152).
[4]. Muttafaq ‘alaih (Shahiih al-Bukhari (IX/482, no. 5332), Shahiih Muslim (II/1093, no. 1471), Sunan Abi Dawud (VI/227, no. 2165) dan ini adalah lafazhnya, Sunan an-Nasa-i (VI/138).
[5]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 128)], Shahiih al-Bukhari (IX/351, no. 5253).
[6]. Sanadnya Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (VII/134)], ad-Daruquthni (IV/9, no. 24).
[7]. Shahiih Muslim (II/1099, no. 1472).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1029-talak-perceraian.html